A.Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:
1. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
2. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yanng di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:
1. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
2. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
B.Macam-macam Bentuk Kajahatan Pemalsuan
Dalam ketentuan hukum pidana, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai, dan pemalsuan surat:
1. Sumpah Palsu
Sumpah palsu diatur dalam pasal 242 KUHP. Keterangan di bawah sumpah dapat diberikan dengan lisan atau tulisan. Keterangan dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan dimuka seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di dalam siding pengadilan. Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-masing. Sedangkan keterangan dengan lisan berarti bahwa seorang pejabat menulis keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah jabatan yang dulu diucapkan pada waktu mulai memangku jabatannya seperti seorang pegawai polisi membuat proses-verbal dari suatu pemeriksaan dalam menyidik perkara pidana.
Sumpah palsu diatur dalam pasal 242 KUHP. Keterangan di bawah sumpah dapat diberikan dengan lisan atau tulisan. Keterangan dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan dimuka seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian tuhan bahwa ia memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di dalam siding pengadilan. Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-masing. Sedangkan keterangan dengan lisan berarti bahwa seorang pejabat menulis keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah jabatan yang dulu diucapkan pada waktu mulai memangku jabatannya seperti seorang pegawai polisi membuat proses-verbal dari suatu pemeriksaan dalam menyidik perkara pidana.
Apabila
diberikan oleh seorang wakil maka wakil itu harus diberi kuasa khusus, artinya
dalam surat kuasa harus disebutkan dengan jelas isi keterangan yang akan
diucapkan oleh wakil itu. Menurut ayat 3, disamakan dengan sumpah suatu
kesanggupan akan memberikan keterangan yang benar, atau penguatan kebenaran
keterangan yang telah diberikan keterangan yang benar, atau penguatan kebenaran
keterangan yang telah diberikan. Pergantian ini diperbolehkan dalam hal seorang
berkeberatan diambil sumpah. (Wirjono Prodjodikoro, 2008: 174)
Pemberi
keterangan palsu supaya dapat dihukum maka harus mengetahui, bahwa ia
memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan bahwa ia
memberikan keterangan palsu ini di bawah sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa
keteranganitu sesuai dengan kebenaran akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak
benar, atau jika ternyata pembuat keterangan sebenarnya tidak mengenal
sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat di hukum. Mendiamkan
(menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu
keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari keadaan yang sebenarnya
dengan dikehendaki (dengan sengaja). Oleh karena itu, keterangan itu harus
diberikan dengan atas sumpah dan diwajibkan olah undang-undang atau mempunyai
akibat hukum. (R.Soesilo, 1991: 183)
Sumpah
yang diberikan oleh UU atau oleh UU diadakan akibat hukum, contohnya adalah dalam hal seorang diperiksa dimuka
pengadilan sebagai saksi, maka saksi tersebut sebelum memberikan keterangan
harus diambil sumpah akan memberikan keterangan yang benar. Penyumpahan ini
adalah syarat untuk dapat mempergunakan keterangan saksi itu sebagai alat
bukti. Jadi, seorang yamg memberikan keterangan bohong di bawah sumpah dapt
dihukum (R.Soesilo, 1991: 183)
Apabila
seorang saksi dalam pemeriksaan perkara dimuka pengadilan tidak memberitahukan
hal yang ia ketahui, maka Simons-Pompe maupun Noyon-Langemeyer berpendapat
bahwa hal ini tidak merupakan sumpah palsu, kecuali:
a. Menurut
Simon-Pompe, apabila dengan memberikan sesuatu, maka hal yang
lebih dahulu telah diberitahukan menjadikan tidak benar.
b. Menurut
Noyon- Langemeyer, apabila seorang saksi itu mengatakan: “saya
tidak tahu apa-apa lagi tentang ini”. (R.Soesilo, 1991: 176).
2. Pemalsuan Uang
Obyek
pemalsuan uang meliputi pemalsuan uang logam, uang kertas Negara dan kertas
bank. Dalam pasal 244 yang mengancam dengan hukuman berat, yaitu maksimum lima
belas tahun penjara barangsiapa membikin secara meniru atau memalsukan uang
logam atau uang kertas Negara atau uang kertas bank dengan tujuan untuk
mengedarkannya atau untuk menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak
dipalsukan. Hukuman yang diancam menandakan beratnya sifat tindak pidana ini.
Hal
ini dapat dimengerti karena dengan tindak pidana ini tertipulah masyarakat
seluruhnya, tidak hanya beberapa orang saja. Tindak pidana uang palsu membentuk
dua macam perbuatan, yaitu: (R.Soesilo, 1991:
a. Membikin
secara meniru (namaken)
Meniru
uang adalah membuat barang yang menyerupai uang, biasanya memakai logam yang
lebih murah harganya, akan tetapi meskipun memakai logam yang sama atau lebih
mahal harganya, dinamakan pula “meniru”. Penipuan dan pemalsuan uang itu harus
dilakukan dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang itu
sehingga masyarakat menganggap sebagai uang asli. Termasuk juga apabila
seandainya alat-alat pemerintah untuk membuat uang asli dicuri dan dipergunakan
untuk membuat uang palsu itu. (R.Soesilo, 1991: 1)
b. Memalsukan
(vervalschen)
Memakai
uang kertas, perbuatan ini dapat berupa mengubah angka yang menunjukkan harga
uang menjadi angka yang lebih tinggi atau lebih rendah. Motif pelaku tidak
dipedulikan, asal dipenuhi unsur tujuan pelaku untuk engadakan uang palsu itu
sebagai uang asli yang tidak diubah. Selain itu apabila uang kertas asli diberi
warna lain, sehingga uang kertas asli tadi dikira uang kertas lain yang
harganya kurang atau lebih.
Mengenai
uang logam, memalsukan bararti mengubah tubuh uang logam itu, atau mengambil
sebagian dari logam itu dan menggantinya dengan logam lain. (Wirjono
Prodjodikoro, 2008: 178).
Disamping
pembuatan uang palsu dan pemalsuan uang, pasal 245 mengancam dengan hukuman
yang sama bagi pelaku yang mengedarkan uang palsu. Berdasarkan unsur
kesengajaan, bahwa pelaku harus tahu bahwa barang-barang tersebut adalah uang
palsu. Selain itu, tidak perlu mengetahui bahwa berhubung dengan barang-barang
telah dilakukan tindak pidana pembuatan uang palsu atau memalsukan uang asli.
Secara khusus tidak perlu diketahui bahwa yang membuat atau memalsukan uang
itumemiliki tujuan untuk mengedarkan barang-barang itu sebagai uang asli. (Wirjono
Prodjodikoro, 2008: 178- 179).
Pasal-pasal
lain:
a.
Merusak uang logam (muntschennis)
dalam KUHP pasal 246 diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun barangsiapa mengurangi harga uang logam dengan tujuan untuk
mengedarkannya atau untuk menyuruh mengedarkannya setelah harganya kurang.
b.
Mengedarkan uang logam
yang rusak diatur dalam KUHP pasal 247, diancam hukuman sama dengan pasal 246.
c.
Pasal 249 dikenakan
bagi pelaku yang menerima uang palsu dengan tidak mengetahui tentang kepalsuan
uang itu, dan kemudian mengetahui tentang kepalsuannya tetapi tetap
mengedarkannya dihukum hanya maksimum penjara empat bulan karena tidak ada
unsur dari pasal 245 dan 247.
d.
Membuat atau menyimpan
barang-barang atau alat-alat untuk memalsukan uang diancam pasal 250 dengan
hukuman enam tahun penjara apabila diketahui alat tersebut digunakan untuk meniru,
memalsu, atau mengurangi harga nilai uang.
Hukuman
tambahan dalam pasal 250 bisa bagi pelaku kejahatan yang termuat dalam title x
buku II KUHP, maka dilakukan perampasan uang logam atau kertas yang palsu dan
alat-alat pemalsu uang meskipun barang-barang tersebut bukan milik yang
terhukum. Selain itu pasal 251 mengancam hukuman maksimum penjara 1 tahun bagi
pelaku yang tanpa izin pemerintah memasukkan kedalam wilayah Indonesia
keeping-keping perak atau papan-papan perak yang ada capnya atau tidak, dan
sesudah dicap diulang capnya atau yang diusahakan dengan cara lain agar dapat
dikirakan uang logam, dan tidak untuk perhiasan atau tanda peringatan. (Wirjono
Prodjodikoro, 2008: 180-181)
3. Pemalsuan materai
Materai memiliki arti penting dalam
masyarakat, yaitu dengan adanya materai maka surat yang diberi materai yang ditentukan
oleh UU menjadi suatu surat yang sah, artinya tanpa materai berbagai surat
keterangan, misalnya surat kuasa, tidak dapat diterima sebagai pemberian kuasa
yang sah. Demikian juga dalam pemeriksaan perkara dimuka pengadilan,
surat-surat baru dapat dipergunakan berbagai alat pembuktian apabila dibubuhi
materai yang ditentukan oleh UU. (Wirjono Prodjodikoro, 2008:
182)
Pemalsuan
materai merugikan pemerintah karena pembelian materai adalah semacam pajak dan
pemalsuan materai berakibat berkurangnya pajak ke kas Negara. Menurut KUHP
pasal 253, diancam hukuman tujuh tahun bagi pelaku yang meniru atau memalsukan
materai yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dengan maksud
menggunakan atau menyuruh menggunakan
atau menyuruh orang lain menggunakan materai itu sebagai yang asli. Jika maksud
tidak ada, tidak dikenakan pasal ini. Juga dihukum pembuat materai dengan cap
yang asli dengan melawan hak, yang berarti bahwa pemakaian cap asli itu tidak
dengan izin pemerintahan. (R.Soesilo, 1991: 189)
4. Pemalsuan Cap
(merek)
Dari
berbagai tindak pidana pemalsuan, terdapat juga pemalsuan cap atau merek dan
ini merupakan salah satu misal tindak
pidana berat. Tindak pemalsuan cap atau merek dibagi berbagai macam:
a.
Pemalsuan cap Negara
Pasal 254 ke-1 memuat tindak pidana
berupa mengecap barang-barang itu dengan stempel palsu atau memalsukan cap asli
yang sudah ada pada barang-barang itu dengan tujuan untuk memakai atau menyuruh
memakai oleh orang lain barang-barang itu seolah-olah cap yang ada pada
barang-barang itu adalah asli dan tidak palsu. Pasal 254 ke-2 memuat tindak
pidana seperti pasal 253 ke-2, yaitu secara melanggar hukum mengecap
barang-barang emas atau perak tadi dengan stempel yang asli.
Jadi, yang berwenang menggunakan stempel
yang asli tadi adalah orang lain bukan pelaku tindak pidana ini, atau pelaku
yang pada umumnya berwenang, tetapi in casu mengecap barang-barang itu
secara menyeleweng, tidak menurut semestinya, misalnya barang-barang itu
seharusnya tidak boleh diberi cap-cap itu karena kurang kemurniannya. Pasal 254
ke-3 mengenai barang-barang emas dan perak yang sudah diberi cap Negara atau
cap orang-orang ahli dengan semestinya, tetapi ada seseorang dengan
mempergunakan stempel asli mengecap, menambahkan, atau memindahkan cap itu
kebarang-barang lain (dari emas dan perak) dengan tujuan memakai atau menyuruh
memakai oleh orang lain, barang-barang itu, seolah-olah barang itu sudah sejak
semula dan dengan semestinya diberi cap-cap tadi. Ketiga tindak pidana diatas
diancam hukuman maksimum penjara enam tahun.
b.
Pemalsuan cap tera (rijksmerk)
Pasal 255 memuat tindak-tindak pidana
seperti pasal 254, tetapi mengenai cap tera yang diwajibkan atau diadakan atas
permohonan orang-orang yang berkepentingan pada barang-barang tertentu,
misalnya alat-alat untuk menimbang atau mengukur. Hukumannya lebih ringan lagi,
yaitu maksimum empat tahun penjara.
c.
Pemalsuan cap-cap pada
barang-barang atau alat-alat pembungkus barang-barang itu
Pasal 256 memuat tindak-tindak pidana
seperti pasal 254, tetapi mengenai cap-cap lin daripada cap negara atau cap
orang ahli atau cap tera yang menurut peraturan undang-undang harus atau dapat
diadakan pada barang-barang tertentu. Hukumannya diringankan lagi sampai
maksimum hukuman penjara tiga tahun. (Wirjono Prodjodikoro, 2008:
183-184).
0 komentar:
Posting Komentar