Setelah ‘Ali tewas terbunuh, pengikut-pengikutnya mengangkat Hasan ‘ibnu Ali menjadi khalifah di Kufah. Sementara di Syam kedudukan Mu’awiyah pun semakin kokoh didukung oleh penduduknya. Namun hasan bukanlah lawan yang berarti bagi mu’awiyah. Hasan yang lemah dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya dan membuat perjanjian damai dengan mu’awiyah. Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat islam (‘am al-jama’ah) yang telah bertikai selama beberapa tahun. Hasan pun melakukan bai’it terhadap mu’awiyah pada tahun 41 H.dan diikuti oleh sebagian besar umat islam.
Sebagai administratoryang ulung dan politikus yang cerdik, mu’awiyah memainkan peranannya memimpin dunia islam yang luas tersebut. Ia merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh ‘Ali.sebelumnya, ia telah merangkul ‘Amr ibn al-‘Ash sebagai mediatornya dalam tahkim dengan ‘Ali. Ini merupakan salah satu kelihaian mu’awiyah. Padahal, ketika ‘usman ibn ‘Affan berkuasa, ‘Amr pernah dipecatnya dari gubernur di mesir. Mu’awiyah agaknya tidak ingin mengulangi “kecerobohan” ‘ Usman dan mengangkat ‘ Amr kembali sebagai gubernur Mesir. ‘ Amr merupakan diplomat ulung yang tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, Al-Mughirah ibn Syu’bah diangkatnya menjadi gubernur kufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukung ‘ Ali yang masih setia. Ziyad ibn Abihi yang semula mendukung ‘Ali pun dirangkulnya dengan cara menasabkannya dengan ayahnya (Abu Syufyan) dan mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah. Ziyad bertugas mengamankan Persia bagian dari rongrongan oposisi.
Setelah merasa aman, mulailah Mu’awiyah membenahi negara dan melakukan berbagai kebijaksanaan politik. Perubahan politik yang dilakukan Mu’awiyah adalah memindahkan ibu kota negara ke Damsyik. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan merupakan basis Mu’awiyah dalam memperoleh dukungan rakyat. Selain jauh dari pusat oposisi di Kufah, Damsyik terletak diantara daerah-daerah kekuasaan Bani Umaiyah. Ini merupakan plihan yang tepat bagi mu’awiyah untuk mengamankan kedudukannya dan menjalankan roda pemerintahan.
Perubahan lain yang dikakukan Mu’awiyah adalah menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak syura dengan pemilihan kepala negara secara penunjukan. Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya, Mu’awiyah tidak menyerahkan masalam ini kepada umat islam, tetapi menunjuk putranya sendiri, Yazid, menjadi penggantinya. Ini mengawali lahirnya corak monarkhi dalam pemerintahan islam yang berlangsung baqhkan hingga awal abad ke-20 M. Disamping sebagai wujud ambisinya untuk memperkuat posisi bani Umayah, Mu’awiyah agaknya ingin meniru corak kerajaan yang berkembang di Persia dan Romawi. Ini wajar, karena selama menguasai Syam, Mu,awiyah banyak melihat dan berinteraksi dengan pola hidup dan kebudayaan penduduk setempat yang bercorak Romawi dan Persia. Mu,awiyah sendiri terpengaruh pada gaya hiup dan kebesaran mereka, sehingga ketika masih menjadi gubernur,’Umar pernah menegurnya. Mu’awiyah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kokoh dan dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya.
Dalam perluasan wilayah, Mu’awiyah, dan dinasti Bani Umaiyah umumnya, melakukan berbagai penaklukan. Setidaknya, ekspansi dinasti ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran menghadapi bangsa Romawi di Asia kecil, Konstantinopel dan pulau-pulau di Laut Tengah; front Afrika Utara dari Selat Gibraltar hingga Spanyol; dan front timur hingga Sindus, India. Hingga akhir Bani Umaiyah pada 750 M, kekuasaan Islam sudah mencapai Lautan Atlantik di Barat dan Lembah Indus di Timur.
Selain perluasan, Bani Umaiyah juga melakukan berbagai penyempurnaan di bidang administrasi negara (birokrasi), perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Dalam bidang administrasi negara, untuk pertama kalinya Mu’awiyah “memperkenalkan” pengawal pribadi (hajib) dalam sistem pemerintahan. Para pengawal inilah yang menjalankan tugas-tugas protokoler khalifah dalam menentukan dan menerima siapa yang berhak bertemu dengan khalifah. Selain pengalaman tragedi ‘Ali yang tewas terbunuh, Mu’awiyah juga mendapat inspirasi pelembagaan hajib ini dari pengaruh syam dan persia. Mua’wiyah tidak ingin tragedi yang menimpa ‘Ali terjadi pada dirinya. Ia sadar bahwa orang-orang yang tidak senang kepadanya, terutama kelompok Syi’ah, selalu berusaha mencelakakan dirinya. Hasan Ibrahim Hasan menceritakan bagaimana khawatirnya Mu’awiyah atas keselamatan dirinya, sehingga menggunakan bodyguard. Ia menyediakan tempat khusus di dalam masjid dan tempat itu tidak boleh diusik oleh orang lain dan ia shalat sendiri di situ terpisah dari manusia lainnya. Bila ia sujud, maka pengawalnya siap berdiri di dekat kepalanya melindunginya dengan pedang terhunus. Itulah sebabnya ia menggunakan pengawal dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam perkembangannya para hajib ini memiliki kekuasaan yang luas, karena merekalah yang mengatur pertemuan pejabat-pejabat negara lainnya, delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan Khalifah.
Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen, yaitu Diwan al-Jund (militer) Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan al-Rasail (surat-menyurat), Diwan al-Khatam (Arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk). Beberapa departemen ini memang sudah ada pada zaman ‘Umar, sedangkan sebagian lain merupakan kebijaksanaan Khalifah berdasarkan tuntutan perkembangan yang terjadi. Mu’awiyah-lah khalifah yang pertama membentuk dewan-dewan tersebut. Masing-masing departemen (dewan) dipimpin oleh seorang katib (sekretaris). Pada awal pemerintahannya, Bani Umaiyah menggunakan bahasa daerah masing-masing untuk administrasi negara, sebagaimana sebelum daerah-daerah tersebut ditaklukkan. Di Mesir, bahasa yang digunakan adalah bahasa Kopti, di Syam bahasa Romawi dan di Irak bahasa Persia. Bahkan Mu’awiyah sendiri mengangkat orang non-Arab bernama Sergon ibn Mansur dan anaknya sebagai pegawai lembaga keuangan. Setelah Abdul Malik ibn Marwan memerintah, dilakukanlah Arabisasi. Bahasa Arab menggantikan bahasa-bahasa tersebut dalam administrasi negara. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut, bangsa Arab pun menempati kedudukan yang lebih tinggi dari non-Arab. Kebijaksanaan ini diikuti oleh pengganti-penggantinya berikutnya. Pengutamaan golongan Arab inilah yang kemudian merupakan ciri khas Bani Umaiyah dan akhirnya menjadi pemicu ketidakpuasan di kalangan warga non-Arab, meskipun mereka telah masuk islam.
Dalam pemerintahan daerah, wilayah kekuasaan Bani Umaiyah dibagi menjadi lima propinsi besar, yaitu 1) Hijaz, Yaman dan Arabia, 2) Mesir bagian utara dan selatan, 3) Irak dan Persia, 4) Mesopotamia, Armenia dan Azarbaijan dan 5) Afrika Utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia dan Sardinia. Tiap-tiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Mereka langsung diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Karenanya, sifat pemerintahan Bani Umaiyah adalah sentralistik. Kepala daerah hanya melaksanakan kebijaksanaan yang digariskan dari pusat. Untuk membantu kelancaran tugasnya gubernur-gubernur ini dibantu oleh seorang atau beberapa orang sekretaris (katib), pengawal (hajib) dan pejabat penting (shahib) seperti pejabat pajak dan kepolisian.
Selain eksekutif, khalifah juga mengangkat hakim untuk daerah. Mereka memiliki kekuasaan yang independen dan tidak bisa diintervensi oleh khalifah. Para hakim ini menangani dan memutuskan perkara yang terjadi dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan pelanggaran ringan (hisbah) seperti kecurangan dalam perdagangan dan penipuan di pasar, maupun perkara yang berhubungan dengan al-ahwal al-syakhsiyah (hukum perdata) dan yang berat seperti jarimah yang ditangani oleh lembaga qadha’. Sedangkan untuk pengadilan tingkat tinggi ditangani oleh lembaga wilayah al-mazhalim yang sejak masa Khalifah Abdul Malik (685-705 M) untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah. Dalam penanganan ini, khalifah menyediakan waktu yang khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Sedangkan untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh qadhi al-mazhalim. Wilayah al-mazhalim ini juga menangani tindakan pejabat-pejabat negara yang berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Dalam beberapa hal, wilayah al-mazhalim ini dapat disejajarkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem peradilan Indonesia.
Jabatan hakim dipegang oleh ahli-ahli fiqih mujtahid. Mereka memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya, kekuasaan kehakiman ini mutlak dan bebas dari pengaruh pihak lain, termasuk Khalifah sekalipun. Dalam hal ini,Khalifah hanya mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim. Jika terdapat hakim melanggar dan menyimpang dari tugasnya, maka Khalifah segera memecatnya. Keputusan hakim pun mengikat dan wajib dipatuhi oleh pejabat-pejabat lain seperti para pegawai perpajakan. Satu perkembangan baru dalam dinasti Umaiyah, sejak zaman Mu’awiyah telah diadakan registrasi putusan hakim. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Salim ibn Anaz, Hakim mesir yang menangani perkara warisan. Setelah memutuskan perkara tersebut, tidak berapa lama kemudian kedua pihak yang berperkara berselisih dan meminta putusan kembali darinya. Melihat kasus ini, maka Salim memandang perlu dilakukan pencatatan/pembukuan putusan hakim agar dapat dijadikan pedoman dan putusan yang diambil tidak tumpang tindih.
Dalam hal ini pemerintahan Bani Umaiyah tetap mempertahankan tradisi al-Khulafa’ al-Rasyidun yang memisahkan antara jabatan eksekutif dan yudikatif.
Sumber : Dr. Muhammad Iqbal, M.ag, judul buku Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam
Sebagai administratoryang ulung dan politikus yang cerdik, mu’awiyah memainkan peranannya memimpin dunia islam yang luas tersebut. Ia merangkul kembali tokoh-tokoh yang pernah dipecat oleh ‘Ali.sebelumnya, ia telah merangkul ‘Amr ibn al-‘Ash sebagai mediatornya dalam tahkim dengan ‘Ali. Ini merupakan salah satu kelihaian mu’awiyah. Padahal, ketika ‘usman ibn ‘Affan berkuasa, ‘Amr pernah dipecatnya dari gubernur di mesir. Mu’awiyah agaknya tidak ingin mengulangi “kecerobohan” ‘ Usman dan mengangkat ‘ Amr kembali sebagai gubernur Mesir. ‘ Amr merupakan diplomat ulung yang tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, Al-Mughirah ibn Syu’bah diangkatnya menjadi gubernur kufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukung ‘ Ali yang masih setia. Ziyad ibn Abihi yang semula mendukung ‘Ali pun dirangkulnya dengan cara menasabkannya dengan ayahnya (Abu Syufyan) dan mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah. Ziyad bertugas mengamankan Persia bagian dari rongrongan oposisi.
Setelah merasa aman, mulailah Mu’awiyah membenahi negara dan melakukan berbagai kebijaksanaan politik. Perubahan politik yang dilakukan Mu’awiyah adalah memindahkan ibu kota negara ke Damsyik. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan merupakan basis Mu’awiyah dalam memperoleh dukungan rakyat. Selain jauh dari pusat oposisi di Kufah, Damsyik terletak diantara daerah-daerah kekuasaan Bani Umaiyah. Ini merupakan plihan yang tepat bagi mu’awiyah untuk mengamankan kedudukannya dan menjalankan roda pemerintahan.
Perubahan lain yang dikakukan Mu’awiyah adalah menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak syura dengan pemilihan kepala negara secara penunjukan. Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya, Mu’awiyah tidak menyerahkan masalam ini kepada umat islam, tetapi menunjuk putranya sendiri, Yazid, menjadi penggantinya. Ini mengawali lahirnya corak monarkhi dalam pemerintahan islam yang berlangsung baqhkan hingga awal abad ke-20 M. Disamping sebagai wujud ambisinya untuk memperkuat posisi bani Umayah, Mu’awiyah agaknya ingin meniru corak kerajaan yang berkembang di Persia dan Romawi. Ini wajar, karena selama menguasai Syam, Mu,awiyah banyak melihat dan berinteraksi dengan pola hidup dan kebudayaan penduduk setempat yang bercorak Romawi dan Persia. Mu,awiyah sendiri terpengaruh pada gaya hiup dan kebesaran mereka, sehingga ketika masih menjadi gubernur,’Umar pernah menegurnya. Mu’awiyah berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kokoh dan dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya.
Dalam perluasan wilayah, Mu’awiyah, dan dinasti Bani Umaiyah umumnya, melakukan berbagai penaklukan. Setidaknya, ekspansi dinasti ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran menghadapi bangsa Romawi di Asia kecil, Konstantinopel dan pulau-pulau di Laut Tengah; front Afrika Utara dari Selat Gibraltar hingga Spanyol; dan front timur hingga Sindus, India. Hingga akhir Bani Umaiyah pada 750 M, kekuasaan Islam sudah mencapai Lautan Atlantik di Barat dan Lembah Indus di Timur.
Selain perluasan, Bani Umaiyah juga melakukan berbagai penyempurnaan di bidang administrasi negara (birokrasi), perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Dalam bidang administrasi negara, untuk pertama kalinya Mu’awiyah “memperkenalkan” pengawal pribadi (hajib) dalam sistem pemerintahan. Para pengawal inilah yang menjalankan tugas-tugas protokoler khalifah dalam menentukan dan menerima siapa yang berhak bertemu dengan khalifah. Selain pengalaman tragedi ‘Ali yang tewas terbunuh, Mu’awiyah juga mendapat inspirasi pelembagaan hajib ini dari pengaruh syam dan persia. Mua’wiyah tidak ingin tragedi yang menimpa ‘Ali terjadi pada dirinya. Ia sadar bahwa orang-orang yang tidak senang kepadanya, terutama kelompok Syi’ah, selalu berusaha mencelakakan dirinya. Hasan Ibrahim Hasan menceritakan bagaimana khawatirnya Mu’awiyah atas keselamatan dirinya, sehingga menggunakan bodyguard. Ia menyediakan tempat khusus di dalam masjid dan tempat itu tidak boleh diusik oleh orang lain dan ia shalat sendiri di situ terpisah dari manusia lainnya. Bila ia sujud, maka pengawalnya siap berdiri di dekat kepalanya melindunginya dengan pedang terhunus. Itulah sebabnya ia menggunakan pengawal dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam perkembangannya para hajib ini memiliki kekuasaan yang luas, karena merekalah yang mengatur pertemuan pejabat-pejabat negara lainnya, delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan Khalifah.
Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen, yaitu Diwan al-Jund (militer) Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan), Diwan al-Rasail (surat-menyurat), Diwan al-Khatam (Arsip dan dokumentasi negara) dan Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk). Beberapa departemen ini memang sudah ada pada zaman ‘Umar, sedangkan sebagian lain merupakan kebijaksanaan Khalifah berdasarkan tuntutan perkembangan yang terjadi. Mu’awiyah-lah khalifah yang pertama membentuk dewan-dewan tersebut. Masing-masing departemen (dewan) dipimpin oleh seorang katib (sekretaris). Pada awal pemerintahannya, Bani Umaiyah menggunakan bahasa daerah masing-masing untuk administrasi negara, sebagaimana sebelum daerah-daerah tersebut ditaklukkan. Di Mesir, bahasa yang digunakan adalah bahasa Kopti, di Syam bahasa Romawi dan di Irak bahasa Persia. Bahkan Mu’awiyah sendiri mengangkat orang non-Arab bernama Sergon ibn Mansur dan anaknya sebagai pegawai lembaga keuangan. Setelah Abdul Malik ibn Marwan memerintah, dilakukanlah Arabisasi. Bahasa Arab menggantikan bahasa-bahasa tersebut dalam administrasi negara. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut, bangsa Arab pun menempati kedudukan yang lebih tinggi dari non-Arab. Kebijaksanaan ini diikuti oleh pengganti-penggantinya berikutnya. Pengutamaan golongan Arab inilah yang kemudian merupakan ciri khas Bani Umaiyah dan akhirnya menjadi pemicu ketidakpuasan di kalangan warga non-Arab, meskipun mereka telah masuk islam.
Dalam pemerintahan daerah, wilayah kekuasaan Bani Umaiyah dibagi menjadi lima propinsi besar, yaitu 1) Hijaz, Yaman dan Arabia, 2) Mesir bagian utara dan selatan, 3) Irak dan Persia, 4) Mesopotamia, Armenia dan Azarbaijan dan 5) Afrika Utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia dan Sardinia. Tiap-tiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah masing-masing. Mereka langsung diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Karenanya, sifat pemerintahan Bani Umaiyah adalah sentralistik. Kepala daerah hanya melaksanakan kebijaksanaan yang digariskan dari pusat. Untuk membantu kelancaran tugasnya gubernur-gubernur ini dibantu oleh seorang atau beberapa orang sekretaris (katib), pengawal (hajib) dan pejabat penting (shahib) seperti pejabat pajak dan kepolisian.
Selain eksekutif, khalifah juga mengangkat hakim untuk daerah. Mereka memiliki kekuasaan yang independen dan tidak bisa diintervensi oleh khalifah. Para hakim ini menangani dan memutuskan perkara yang terjadi dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan pelanggaran ringan (hisbah) seperti kecurangan dalam perdagangan dan penipuan di pasar, maupun perkara yang berhubungan dengan al-ahwal al-syakhsiyah (hukum perdata) dan yang berat seperti jarimah yang ditangani oleh lembaga qadha’. Sedangkan untuk pengadilan tingkat tinggi ditangani oleh lembaga wilayah al-mazhalim yang sejak masa Khalifah Abdul Malik (685-705 M) untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah. Dalam penanganan ini, khalifah menyediakan waktu yang khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Sedangkan untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh qadhi al-mazhalim. Wilayah al-mazhalim ini juga menangani tindakan pejabat-pejabat negara yang berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Dalam beberapa hal, wilayah al-mazhalim ini dapat disejajarkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem peradilan Indonesia.
Jabatan hakim dipegang oleh ahli-ahli fiqih mujtahid. Mereka memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya, kekuasaan kehakiman ini mutlak dan bebas dari pengaruh pihak lain, termasuk Khalifah sekalipun. Dalam hal ini,Khalifah hanya mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim. Jika terdapat hakim melanggar dan menyimpang dari tugasnya, maka Khalifah segera memecatnya. Keputusan hakim pun mengikat dan wajib dipatuhi oleh pejabat-pejabat lain seperti para pegawai perpajakan. Satu perkembangan baru dalam dinasti Umaiyah, sejak zaman Mu’awiyah telah diadakan registrasi putusan hakim. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Salim ibn Anaz, Hakim mesir yang menangani perkara warisan. Setelah memutuskan perkara tersebut, tidak berapa lama kemudian kedua pihak yang berperkara berselisih dan meminta putusan kembali darinya. Melihat kasus ini, maka Salim memandang perlu dilakukan pencatatan/pembukuan putusan hakim agar dapat dijadikan pedoman dan putusan yang diambil tidak tumpang tindih.
Dalam hal ini pemerintahan Bani Umaiyah tetap mempertahankan tradisi al-Khulafa’ al-Rasyidun yang memisahkan antara jabatan eksekutif dan yudikatif.
Sumber : Dr. Muhammad Iqbal, M.ag, judul buku Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam
0 komentar:
Posting Komentar