Percobaan
melakukan tindak pidana diancam dengan pidana jika telah memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Berdasarkan arti kata yang kita pakai sehari-hari,
percobaan itu diartikan sebagai menuju sesuatu yang ingin dicapai, tetapi tidak
sampai kepada yang dituju itu.
Percobaan
melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV Pasal 53
dan 54 KUHP.
Pasal
53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi
atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan
suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Adanya
niat/kehendak dari pelaku
b. Adanya
permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu
c. Pelaksanaan
tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Atau
didalam bahasa yang lebih mudah untuk dipahami bahwa Syarat yang harus dipenuhi
agar percobaan kejahatan itu dapat dihukum adalah sebagai berikut :
a.
Niat untuk berbuat kejahatan sudah ada, artinya
orang sudah mempunyai pikiran untuk berbuat jahat yang meliputi sifat sengaja
(dolus)
b.
Orang sudah mulai
berbuat kejahatan, maksudnya orang itu bukan hanya baru berpikir, tetapi harus
sudah mulai bertindak
c.
Perbuatan kejahatan itu
tidak sampai selesai, karena terhalang sebab-sebab yang timbul kemudian tidak
selesai, maksudnya tidak semua unsur-unsur kejahatan itu dipenuhi.
Perbuatan
pelaksanaan atau persiapan
Sangat
penting menetapkan apakah sesuatu perbuatan benar-benar merupakan perbuatan
permulaan pelaksanaan ataukah baru merupakan perbuatan persiapan saja.
Perbuatan persiapan adalah segala perbuatan yang mendahului perbuatan permulaan
pelaksanaan, misalnya membeli senjata yang akan dipakai membunuh orang.
Perbuatan-perbuatan persiapan tidak termasuk perbuatan pidana.
Perbuatan
pelaksanaan dibedakan dari persiapan. Jika masih merupakan perbuatan persiapan
tidak dipidana, tetapi bila telah ada perbuatan pelaksanaan dapat dipidana.
Agar
keduanya tidak dianggap sama, maka dapat dipisahkan dan dibedakan melalui
ajaran percobaan yang subyektif dan obyektif.
1. Secara
subyektif, tidak ada keragu-raguan lagi bahwa pembuat memang bermaksud akan
melakukan tindak pidana tersebut.
2. Secara
obyektif, apa yang telah diperbuat harus mendekat kepada delik yang dituju.
Dengan kata lain, mampu atau mengandung potensi untuk mewujudkan tindak pidana
itu.
Pada
umumnya dapat dikatakan, perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan
pelaksanaan apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari
peristiwa pidana. Jika orang belum mulai dengan melakukan suatu anasir atau
elemen ini, perbuatannya masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan.
0 komentar:
Posting Komentar