Rabu, 18 April 2012

Sudahkah Saya Belajar?


Komunikasi merupakan hal penting dalam perolehan informasi. Namun, perlu ditunjang kemampuan interpretasi yang baik. Salah mengartikan informasi juga bisa berakibat fatal. Proses interpretasi yang baik harus dilakukan melalui proses pembelajaran yang benar. Informasi dan pengetahuan tidak cukup didengar sekali, dua kali, tapi harus dimaknai melalui tahap belajar yang benar.

Seperti kata filsuf, “Hidup tidak bermakna jika tidak dimaknai.” Demikian halnya masa-masa kuliah. Waktu, setiap detik yang kita lalui, itu sebuah anugerah, pemberian Tuhan buat kita. Bagaimana kita mengisinya, itu pemberian kita buat Tuhan. Bagaimana cara kita belajar menentukan bagaimana kita paham dan mampu memaknai apa yang kita pelajari. Akhirnya, orang yang mampu memaknai akan mudah untuk mengaplikasi segala ilmu dan teori yang dipelajari.

Seorang lulusan yang selalu merendahkan dirinya dengan berkata, “Ah .. . . kuliah itu kan Cuma teori. Praktiknya beda banget, bo!” belum tahu bagaimana cara belajar. Sungguh kasihan, ia adalah salah satu lulusan “gagal”. Seperti belajar memaknai Seni Perang, setiap informasi yang diperoleh perlu dimaknai dulu, baru bisa berguna dan menjadi pengetahuan yang sebenarnya. “Kamu tidak akan pernah merasa betapa manisnya jeruk jika hanya menjilat kulitnya.” Begitulah seharusnya mereaksikan pikiran atas informasi yang diperoleh. Ada tiga tahap belajar :

 1.  Ketahui (knowing). Kalau kamu membaca sekali saja sebuah informasi (dalam buku), kamu baru dikatakan belajar tahap paling dasar; dan hasilnya, Cuma mengetahui apa yang sedang kamu baca. Dalam hal inni, pembelajar telah memecahkan pertanyaan WHAT I Learned.

      2.  Pahami (understanding). Pada tahap ini, seseorang tidak hanya tahu, tapi lebih pada paham atau mengerti apa yang sedang ia baca. Tahap ini ditandai dengan pembelajar mampu menerima argumentasi logis (otak kiri) dari pemberi informasi/penulis buku. Untuk mencapai tahap ini, sebuah informasi harus dibaca berulang-ulang hingga pikiran kita mampu merespons. Dalam hal ini, pembelajar memecahkan pertanyaan HOW it (what I learned) could be.

     3. Maknai (meaning). Ini adalah tahap belajar tertinggi. Seseorang dikatakan belajar sesungguhnya jika sudah pada tahap mampu memaknai. Proses ini harus melibatkan kerja otak kiri, otak kanan, dan hati. Tidak cukup dibaca berulang, tapi harus direnungkan hingga kita memperoleh intisari utama. Intisari dasar atau hikmah inilah yang nanti memampukan seseorang untuk mengaitkan apa yang dipelajari dengan dinamika lingkungan yang dihadapi, dimana pun ia berada. Pembelajar dalam tahap ini tidak bingung lagi memilah mana teori dan mana praktik karena ia paham bagaimana mengambil hikmah sebuah teori, kemudian mengaplikasikannya dalam dunia praktik. Dalam hal ini, pembelajar telah memecahkan pertanyaan WHY it could be.

Teori bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Kalau kamu benar-benar belajar, tidak ada yang sulit karena semua ilmu datangnya dari kehidupan itu sendiri. Coba saja bagaimana si aneh Newton menemukan teori gravitasi. Saat itu, ia hanya melihat apel jatuh dari pohon, tapi lihat bagaimana Newton mampu mempelajari fenomena ini hingga tingkat pemaknaan. Contoh lain, Archimedes yang terkenal dengan teori berat jenis benda padat dan air. Konon saat itu, ia sedang mandi dan memperhatikan air yang tumpah saat ia masuk kedalam bak mandi. Ia menemukan sesuatu dan berteriak “Eureka!!!” Mungkin setelah ini kamu menemukan (usulan) teori baru dari hal sederhana di sekitar kamu.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger