Komunikasi merupakan hal penting dalam perolehan
informasi. Namun, perlu ditunjang kemampuan interpretasi yang baik. Salah
mengartikan informasi juga bisa berakibat fatal. Proses interpretasi yang baik
harus dilakukan melalui proses pembelajaran yang benar. Informasi dan
pengetahuan tidak cukup didengar sekali, dua kali, tapi harus dimaknai melalui
tahap belajar yang benar.
Seperti kata filsuf, “Hidup tidak bermakna jika tidak dimaknai.” Demikian halnya
masa-masa kuliah. Waktu, setiap detik yang kita lalui, itu sebuah anugerah,
pemberian Tuhan buat kita. Bagaimana kita mengisinya, itu pemberian kita buat
Tuhan. Bagaimana cara kita belajar menentukan bagaimana kita paham dan mampu
memaknai apa yang kita pelajari. Akhirnya, orang yang mampu memaknai akan mudah
untuk mengaplikasi segala ilmu dan teori yang dipelajari.
Seorang lulusan yang selalu merendahkan dirinya
dengan berkata, “Ah .. . . kuliah itu kan Cuma teori. Praktiknya beda banget,
bo!” belum tahu bagaimana cara belajar. Sungguh kasihan, ia adalah salah satu
lulusan “gagal”. Seperti belajar memaknai Seni Perang, setiap informasi yang
diperoleh perlu dimaknai dulu, baru bisa berguna dan menjadi pengetahuan yang
sebenarnya. “Kamu tidak akan pernah
merasa betapa manisnya jeruk jika hanya menjilat kulitnya.” Begitulah
seharusnya mereaksikan pikiran atas informasi yang diperoleh. Ada tiga tahap
belajar :
1. Ketahui (knowing). Kalau kamu
membaca sekali saja sebuah informasi (dalam buku), kamu baru dikatakan belajar
tahap paling dasar; dan hasilnya, Cuma mengetahui apa yang sedang kamu baca.
Dalam hal inni, pembelajar telah memecahkan pertanyaan WHAT I Learned.
2. Pahami (understanding). Pada tahap ini, seseorang tidak hanya tahu, tapi
lebih pada paham atau mengerti apa yang sedang ia baca. Tahap ini ditandai
dengan pembelajar mampu menerima argumentasi logis (otak kiri) dari pemberi
informasi/penulis buku. Untuk mencapai tahap ini, sebuah informasi harus dibaca
berulang-ulang hingga pikiran kita mampu merespons. Dalam hal ini, pembelajar memecahkan
pertanyaan HOW it (what I learned) could
be.
3. Maknai (meaning). Ini adalah tahap belajar tertinggi. Seseorang dikatakan
belajar sesungguhnya jika sudah pada tahap mampu memaknai. Proses ini harus
melibatkan kerja otak kiri, otak kanan, dan hati. Tidak cukup dibaca berulang,
tapi harus direnungkan hingga kita memperoleh intisari utama. Intisari dasar
atau hikmah inilah yang nanti memampukan seseorang untuk mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dinamika lingkungan yang dihadapi, dimana pun ia berada. Pembelajar
dalam tahap ini tidak bingung lagi memilah mana teori dan mana praktik karena
ia paham bagaimana mengambil hikmah sebuah teori, kemudian mengaplikasikannya
dalam dunia praktik. Dalam hal ini, pembelajar telah memecahkan pertanyaan WHY it could be.
Teori bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Kalau kamu benar-benar belajar, tidak ada yang sulit karena semua ilmu
datangnya dari kehidupan itu sendiri. Coba saja bagaimana si aneh Newton
menemukan teori gravitasi. Saat itu, ia hanya melihat apel jatuh dari pohon,
tapi lihat bagaimana Newton mampu mempelajari fenomena ini hingga tingkat
pemaknaan. Contoh lain, Archimedes yang terkenal dengan teori berat jenis benda
padat dan air. Konon saat itu, ia sedang mandi dan memperhatikan air yang
tumpah saat ia masuk kedalam bak mandi. Ia menemukan sesuatu dan berteriak “Eureka!!!” Mungkin setelah ini kamu
menemukan (usulan) teori baru dari hal sederhana di sekitar kamu.
0 komentar:
Posting Komentar